Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran Periode 1959-1966
Sejarah Bank Indonesia (BI) di Bidang Sistem Pembayaran pada Periode Tahun 1959 hingga 1966_Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menyatakan dekrit kembali ke Undang- Undang Dasar 1945. Sejak saat itu, pemerintahan Indonesia berjalan berdasarkan sistem demokrasi terpimpin. Kekuasaan negara terpusat pada presiden dan kebijakan pemerintah diambil berdasarkan Manifesto Politik (Manipol) yang dicanangkan pada tanggal 17 Agustus 1959.
Demikian pula dalam bidang perekonomian. Sistem ekonomi terpimpin menuntut semua unsur bangsa untuk menjadi alat revolusi yang belum selesai. Nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) adalah tiga pilar ideologi demokrasi terpimpin.
Dalam periode ini, kebijakan sistem pembayaran tunai ditujukan untuk mencapai kesatuan wilayah dan kesatuan moneter, di samping kebijakan yang bertalian dengan upaya peningkatan sistem pembayaran non tunai (giral). Maka, sehubungan dengan kembalinya wilayah Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, ditetapkan uang rupiah khusus untuk Irian Barat (IB Rp) yang khusus berlaku untuk daerah tersebut sejak tanggal 1 Mei 1963.
Selain itu, untuk mengatasi peredaran uang dolar Malaya di Kepulauan Riau, dikeluarkan satuan uang rupiah khusus untuk Kepulauan Riau (KR Rp) yang berlaku khusus di daerah tersebut sejak tanggal 15 Oktober 1963.
Jenis pecahan uang kertas KR Rp sama dengan uang kertas IB Rp, hanya berbeda pada pembubuhan nama daerahnya saja. Jika pada IB Rp tertulis "IRIAN BARAT", maka dalam KR Rp tertulis "RIAU".
Perbedaan lainnya adalah jika uang logam KR Rp bersisi rata dengan tulisan Kepulauan Riau, maka uang logam IB Rp mempunyai sisi bergerigi tanpa tulisan.
Masa peredaran uang KR Rp tidak lama. Dengan Keputusan Presiden No. 3/1964 tertanggal 27 Juni 1964, uang KR Rp ditarik dari peredaran.
Mulai tanggal 1 Juli 1964, berlaku uang rupiah yang sama dengan uang rupiah untuk wilayah Republik Indonesia (RI) lainnya, kecuali Irian Barat.
Dalam periode 1959-1966, pemerintah RI mengeluarkan uang kertas Seri Sandang Pangan bertanda tahun 1960 dan 1961 dalam pecahan Rp 1 dan Rp 2,5. Pemerintah juga menerbitkan uang kertas Seri Presiden Sukarno bertanda tahun 1964 yang merupakan penerbitan uang kertas pemerintah yang terakhir.
Sebagai persiapan terwujudnya kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Republik Indonesia, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965 tanggal 13 Desember 1965.
Penpres ini menetapkan pengeluaran uang rupiah baru sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Penetapan ini telah memberikan wewenang penuh kepada BI untuk mengeluarkan semua jenis uang dalam berbagai pecahan.
Hal ini merupakan penyimpangan dari UU No. 11/1953. Uang baru tersebut mempunyai nilai Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1.
Berkaitan dengan penetapan itu, BI mengeluarkan uang kertas Seri Dwikora bertanda tahun 1964 dalam pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen; uang kertas Seri Presiden Soekarno bertanda tahun 1960 dalam pecahan Rp 5, Rp 10, Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp 500, dan Rp 1.000; uang kertas Seri Presiden Soekarno bertanda tahun 1964 dalam pecahan Rp 1 dan Rp 2,5.
Berkaitan dengan sistem pembayaran non tunai, pemerintah, melalui UU No. 17 tahun 1964, menetapkan bahwa perbuatan penarikan cek kosong adalah kejahatan yang diancam dengan pidana mati, seumur hidup, atau penjara dengan denda sebanyak-banyaknya empat kali jumlah yang ditulis dalam cek kosong.
Hal tersebut dilakukan mengingat bahwa, sebelum tahun 1964, banyak gejala penarikan cek kosong yang berpotensi mengganggu sistem pembayaran giral dan merugikan masyarakat.
Selanjutnya, BI juga mengedarkan kepada bank-bank sebuah "Daftar Hitam Penarik Cek Kosong".
Dalam pelaksanaan kliring, pada periode ini dilakukan peningkatan pengawasan terhadap proses kliring. Hal itu dilaksanakan dengan mengharuskan petugas kliring dari tiap-tiap bank membuat kartu tanda tangan yang disimpan dalam kardek di lembaga kliring. Kartu ini sewaktu-waktu akan diperiksa.
Untuk pembayaran non tunai antarkantor, BI menggunakan sarana teleks dan surat untuk transaksi debet dan kredit.
Cek BI hanya digunakan untuk penarikan tunai dari kas BI, sedangkan bilyet giro hanya dikliringkan atau dipindahbukukan kepada rekening lainnya di BI.
Sementara itu, dalam sistem pembayaran transaksi luar negeri tidak terdapat perubahan, tetap menggunakan sistem Letter of Credit dan transfer dana dengan menggunakan sarana teleks dengan angka rahasia. BI pun tetap mempunyai rekening pada bank-bank koresponden luar negeri.
Demikian tentang Sejarah BI di Bidang Sistem Pembayaran pada Periode Tahun 1959 sampai 1966. Semoga bermanfaat.
Demikian pula dalam bidang perekonomian. Sistem ekonomi terpimpin menuntut semua unsur bangsa untuk menjadi alat revolusi yang belum selesai. Nasionalisme, agama, dan komunisme (Nasakom) adalah tiga pilar ideologi demokrasi terpimpin.
Dalam periode ini, kebijakan sistem pembayaran tunai ditujukan untuk mencapai kesatuan wilayah dan kesatuan moneter, di samping kebijakan yang bertalian dengan upaya peningkatan sistem pembayaran non tunai (giral). Maka, sehubungan dengan kembalinya wilayah Irian Barat ke pangkuan Republik Indonesia, ditetapkan uang rupiah khusus untuk Irian Barat (IB Rp) yang khusus berlaku untuk daerah tersebut sejak tanggal 1 Mei 1963.
Jenis pecahan uang kertas KR Rp sama dengan uang kertas IB Rp, hanya berbeda pada pembubuhan nama daerahnya saja. Jika pada IB Rp tertulis "IRIAN BARAT", maka dalam KR Rp tertulis "RIAU".
Perbedaan lainnya adalah jika uang logam KR Rp bersisi rata dengan tulisan Kepulauan Riau, maka uang logam IB Rp mempunyai sisi bergerigi tanpa tulisan.
Masa peredaran uang KR Rp tidak lama. Dengan Keputusan Presiden No. 3/1964 tertanggal 27 Juni 1964, uang KR Rp ditarik dari peredaran.
Mulai tanggal 1 Juli 1964, berlaku uang rupiah yang sama dengan uang rupiah untuk wilayah Republik Indonesia (RI) lainnya, kecuali Irian Barat.
Dalam periode 1959-1966, pemerintah RI mengeluarkan uang kertas Seri Sandang Pangan bertanda tahun 1960 dan 1961 dalam pecahan Rp 1 dan Rp 2,5. Pemerintah juga menerbitkan uang kertas Seri Presiden Sukarno bertanda tahun 1964 yang merupakan penerbitan uang kertas pemerintah yang terakhir.
Sebagai persiapan terwujudnya kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Republik Indonesia, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 27/1965 tanggal 13 Desember 1965.
Penpres ini menetapkan pengeluaran uang rupiah baru sebagai alat pembayaran yang sah di seluruh wilayah Republik Indonesia. Penetapan ini telah memberikan wewenang penuh kepada BI untuk mengeluarkan semua jenis uang dalam berbagai pecahan.
Hal ini merupakan penyimpangan dari UU No. 11/1953. Uang baru tersebut mempunyai nilai Rp 1 (baru) = Rp 1.000 (lama) dan Rp 1 (baru) = IB Rp 1.
Berkaitan dengan penetapan itu, BI mengeluarkan uang kertas Seri Dwikora bertanda tahun 1964 dalam pecahan 1 sen, 5 sen, 10 sen, 25 sen, dan 50 sen; uang kertas Seri Presiden Soekarno bertanda tahun 1960 dalam pecahan Rp 5, Rp 10, Rp 25, Rp 50, Rp 100, Rp 500, dan Rp 1.000; uang kertas Seri Presiden Soekarno bertanda tahun 1964 dalam pecahan Rp 1 dan Rp 2,5.
Berkaitan dengan sistem pembayaran non tunai, pemerintah, melalui UU No. 17 tahun 1964, menetapkan bahwa perbuatan penarikan cek kosong adalah kejahatan yang diancam dengan pidana mati, seumur hidup, atau penjara dengan denda sebanyak-banyaknya empat kali jumlah yang ditulis dalam cek kosong.
Hal tersebut dilakukan mengingat bahwa, sebelum tahun 1964, banyak gejala penarikan cek kosong yang berpotensi mengganggu sistem pembayaran giral dan merugikan masyarakat.
Selanjutnya, BI juga mengedarkan kepada bank-bank sebuah "Daftar Hitam Penarik Cek Kosong".
Dalam pelaksanaan kliring, pada periode ini dilakukan peningkatan pengawasan terhadap proses kliring. Hal itu dilaksanakan dengan mengharuskan petugas kliring dari tiap-tiap bank membuat kartu tanda tangan yang disimpan dalam kardek di lembaga kliring. Kartu ini sewaktu-waktu akan diperiksa.
Untuk pembayaran non tunai antarkantor, BI menggunakan sarana teleks dan surat untuk transaksi debet dan kredit.
Cek BI hanya digunakan untuk penarikan tunai dari kas BI, sedangkan bilyet giro hanya dikliringkan atau dipindahbukukan kepada rekening lainnya di BI.
Sementara itu, dalam sistem pembayaran transaksi luar negeri tidak terdapat perubahan, tetap menggunakan sistem Letter of Credit dan transfer dana dengan menggunakan sarana teleks dengan angka rahasia. BI pun tetap mempunyai rekening pada bank-bank koresponden luar negeri.
Demikian tentang Sejarah BI di Bidang Sistem Pembayaran pada Periode Tahun 1959 sampai 1966. Semoga bermanfaat.
Posting Komentar untuk "Sejarah Bank Indonesia di Bidang Sistem Pembayaran Periode 1959-1966"
Apa komentar Anda?