Sejarah Pengedaran Uang di Indonesia Periode 1953-1959

Pengedaran Uang di Indonesia Periode 1953-1959_Berdasarkan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia 1953, Bank Indonesia (BI) diberikan wewenang untuk mengedarkan uang. Dengan demikian, di Indonesia uang diedarkan melalui dua institusi yaitu pemerintah (Menteri Keuangan) dan Bank Indonesia. Bank Indonesia hanya mengeluarkan uang kertas dengan pecahan Rp 5 ke atas. Pada periode 1953–1959, BI mengeluarkan beberapa seri uang kertas yaitu Seri Pahlawan dan Kebudayaan, Seri Hewan, dan Seri Pekerja Tangan. Sedangkan pemerintah, dengan mengacu pada UU Mata Uang 1951 mengedarkan uang logam dan Uang Kertas pecahan Rp 1 dan Rp 2.50. Dalam kurun waktu 1953–1959, peredaran uang kertas semakin bertambah jumlahnya, namun demikian peran dari UKP semakin menurun.

Pengedaran uang merupakan suatu rangkaian kebijakan yang terdiri atas: mengeluarkan uang, mencabut atau menarik kembali uang dari peredaran, serta memberikan jaminan atas segala bentuk uang, baik kartal maupun giral, yang telah diedarkan.
Sejarah Pengedaran Uang di Indonesia Periode 1953-1959
Pada periode ini, Dewan Moneter telah menetapkan jumlah jaminan atas pengedaran uang bank baik kartal maupun giral. Pada periode ini, pemerintah menentukan batas tertentu bagi pengeluaran UKP demi tercapainya kondisi perekonomian yang sehat.

Siapa yang tidak butuh uang? Dalam kehidupan modern, uang memegang peranan yang sangat penting. Uang juga dapat dijadikan salah satu simbol kedaulatan sebuah negara. Dalam pidatonya di Radio Republik Indonesia Yogyakarta bulan Oktober 1946, Bung Hatta menyatakan, "Besok, tanggal 30 Oktober 1946, adalah sesuatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita. Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok, mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya
alat pembayaran yang sah ….

Walaupun artikel ini tidak membahas mengenai ORI, namun penerbitan ORI telah menjadi tonggak baru dalam sejarah perekonomian Indonesia. Sejak saat itu, pemerintah dan Bank Indonesia terus menerbitkan uang dalam berbagai seri dan nominal, termasuk pada periode 1953-1959.

Dalam kehidupan perekonomian modern, peranan uang sangatlah penting. Namun, apa sebenarnya fungsi uang? Bagaimana uang dibuat? Bagaimana bentuknya? Bagaimana sejarahnya?

Seluruh pertanyaan itu sangat menarik untuk dibahas, seperti diungkapkan oleh Bung Hatta, dalam pidatonya di Radio Republik Indonesia (RRI) Yogyakarta bulan Oktober 1946, "Besok tanggal 30 Oktober 1946 adalah sesuatu hari yang mengandung sejarah bagi tanah air kita.

Rakyat kita menghadapi penghidupan baru. Besok, mulai beredar Oeang Republik Indonesia sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah.

Mulai pukul 12 tengah malam nanti, uang Jepang yang selama ini sebagai uang yang sah, tidak laku lagi.

Beserta dengan uang Jepang itu, ikut pula tidak laku, uang Javasche Bank...." Pidato itu disampaikan Bung Hatta sehari menjelang dikeluarkannya Oeang Republik Indonesia (ORI), yang merupakan uang pertama yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia.

Fungsi dan Jenis Uang
Uang berfungsi sebagai alat tukar, pengukur nilai, satuan hitung, penyimpan daya beli, serta ukuran pembayaran untuk waktu yang akan datang.

Menurut nilainya, terdapat dua macam uang, yaitu full bodied money dan token money. Full bodied money adalah uang yang nilai intrinsiknya sama dengan nilai nominalnya.

Sedangkan token money adalah uang yang nilai intrinsiknya lebih rendah dari nilai nominalnya, misalnya uang kertas dan uang logam yang dikeluarkan pemerintah atau bank sentral.

Nilai instrinsik adalah nilai material yang digunakan sebagai bahan baku uang.

Nilai nominal adalah nilai yang tercantum pada uang tersebut.

Empat Macam Uang Dilihat dari Bentuknya
Dilihat dari bentuknya, terdapat empat macam uang, yaitu:
(1) uang barang (comodity money), yaitu uang yang bernilai baik sebagai barang maupun sebagai alat pembayaran, seperti uang emas;

(2) uang kartal (legal tender), yaitu uang kertas dan uang logam yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah;

(3) uang kebiasaan (customary money), berupa surat perintah membayar yang umum diterima sebagai uang, seperti cek dan bilyet giro;

(4) uang peringatan (commemorative money), yaitu uang yang diedarkan untuk memperingati peristiwa tertentu atau sebagai sarana pengumpulan dana. Uang peringatan ini tetap sah walaupun tidak diedarkan secara luas.

Pada tulisan ini, akan dibahas mengenai uang sebagai legal tender pada periode 1953-1959, dengan fokus pada.
1. Uang kertas Bank Indonesia.
2. Uang kertas dan uang logam pemerintah.
3. Mekanisme pengedaran dan penarikan uang dari peredaran.
4. Jaminan atas uang yang diedarkan.

Uang Kertas Bank Indonesia (UKBI)
Sebagai bank sentral, Bank Indonesia merupakan satu-satunya lembaga yang diberi wewenang untuk mengedarkan uang. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI) 1953. Dalam UUPBI itu, BI ditugaskan untuk.

1. Mengatur keseimbangan nilai rupiah.
2. Menyelenggarakan pengedaran uang di Indonesia.
3. Mengeluarkan uang kertas bank sebagai alat pembayaran yang sah.
4. Mengeluarkan uang kertas bank dengan nilai lima rupiah keatas.

Dalam pasal 40 UUPBI 1953 tersebut juga dijelaskan bahwa uang kertas bank yang dikeluarkan oleh De Javasche Bank (DJB) berdasarkan DJB Wet 1922 dan Ordonasi 14 Juli 1949, tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah hingga uang itu dicabut dan ditarik dari peredaran.

Sedangkan untuk penerbitan uang logam dan uang kertas dibawah lima rupiah dilaksanakan oleh pemerintah (Departemen Keuangan), berdasarkan UU Mata Uang 1951 (UU No. 20 Tahun 1951 tanggal 27 September 1951).

Penerbitan dan Pengedaran Uang Kertas Bank Indonesia (UKBI)
Penerbitan UKBI telah dipersiapkan sejak tahun 1952, sesaat setelah nasionalisasi DJB tahun 1951.

Namun, karena UUPBI baru dikeluarkan pada 1953, maka "UKBI Emisi 1952" tersebut baru dikeluarkan tanggal 2 Juli 1953. Selama periode 1953- 1959, BI mengeluarkan beberapa seri UKBI, yaitu UKBI Emisi 1952, (disebut juga Seri Pahlawan dan Kebudayaan), UKBI Seri Hewan dan UKBI Seri Pekerja Tangan.

Seri Pahlawan dan Kebudayaan
UKBI Seri Pahlawan dan Kebudayaan (UKBI Emisi 1952) terdiri atas tujuh pecahan, mulai dari Rp 5 sampai Rp 1.000. Uang ini ditandatangani oleh Gubernur BI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara bersama Direktur, Mr. Indra Kasoema dan diedarkan bertahap hingga 25 Januari 1955.

Pecahan Rp 5 dicetak di luar negeri oleh Percetakan Thomas De La Rue & Co. di Inggris. Sedangkan pecahan lainnya dicetak oleh Percetakan Johan Enschede en Zonen, Imp di Belanda. Sebagian dari pecahan Rp 10 dan Rp 25 juga dicetak oleh NV Percetakan Kebayoran.

Seri Hewan
UKBI Seri Hewan terdiri atas delapan pecahan, mulai dari Rp 5 sampai Rp 2.500. Khusus untuk pecahan Rp 2.500 ditandatangani oleh Gubernur BI, Mr. Loekman Hakim dan TRB Sabaroedin, sedangkan untuk pecahan lainnya oleh Gubernur BI, Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Direktur BI, TRB Sabaroedin.

Uang ini diedarkan bertahap pada tahun 1958, 1959, dan 1962. Seluruh pecahan UKBI Seri Hewan yang tidak mencantumkan tanda tahun ini, dicetak oleh Percetakan Thomas De La Rue & Co.

Sebenarnya, pecahan Rp 5.000 juga sudah disiapkan, namun tidak diedarkan karena peristiwa PRRI tahun 1958.

Seri Pekerja Tangan
UKBI Seri Pekerja Tangan terdiri atas sembilan pecahan, mulai dari Rp 5 sampai Rp 10.000. Semua pecahan bertanda tahun 1958, kecuali pecahan Rp 5 yang tidak mencantumkan tanda tahun serta pecahan Rp 10.000 yang bertanda tahun 1964.

Pecahan Rp 5 mulai diedarkan tanggal 8 September 1959, sedangkan pecahan lainnya diedarkan sesudah tahun 1959. Pada bulan Agustus 1959, pemerintah mengambil kebijakan sanering untuk mengurangi jumlah uang beredar melalui Perpu No. 2 Tahun 1959.

Lewat peraturan ini, pemerintah menurunkan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 1.000 menjadi Rp 50 dan Rp 100.

Uang Kertas dan Uang Logam Pemerintah
Pada bulan September 1951, pemerintah mengeluarkan UU Mata Uang 1951 (UU Darurat No. 20 tanggal 27 September 1951). UU ini menghentikan berlakunya "Indische Muntwet 1912" dan menetapkan peraturan baru tentang mata uang.

UU Darurat itu lalu ditetapkan menjadi UU Mata Uang tahun 1953, melalui UU No. 27 Tahun 1953.

Beberapa ketentuan baru yang menyangkut mata uang pemerintah adalah:

1. Uang logam Indonesia yang sah, terdiri atas uang logam pecahan 50 sen dari nikel dan pecahan 1 sen sampai 25 sen dari aluminium.

2. Uang kertas pemerintah yang dapat dikeluarkan adalah uang kertas dengan pecahan Rp1 dan Rp2,50, sesuai dengan kebutuhan.

3. Uang kertas pemerintah selain Rp1 dan Rp2,50 dinyatakan masih berlaku, namun lambat laun akan ditarik dari peredaran oleh Menteri Keuangan.

4. Menteri Keuangan berhak melanjutkan pengeluaran uang kertas pecahan 10 sen dan 25 sen sebagai tindakan peralihan, hingga jumlah uang logam yang beredar mencukupi.

Ketika nikel sulit diperolah, dibuatlah UU Darurat No. 4 Tahun 1958, yang mengesahkan uang logam dari aluminium untuk pecahan 1 sen sampai 50 sen, serta uang logam dari aluminium bronze untuk pecahan Rp1 dan Rp2,50.

Menyangkut uang kertas pemerintah, pada akhir Maret 1953, jumlah uang kertas pemerintah yang beredar sebesar Rp 326 juta, dengan rincian Rp 229 juta dalam bentuk uang kertas Rp5 dan Rp10, dan Rp97 juta dalam bentuk uang kertas dari pemerintah Hindia Belanda pecahan Rp1 dan Rp2,50.

Dengan UU Darurat No. 2 tanggal 4 Januari 1954, ditetapkan bahwa uang kertas pemerintah pecahan Rp 0,50, Rp 1, dan Rp 2,50 mulai tanggal 1 Januari 1954 dicabut sifatnya sebagai alat pembayaran yang sah.

Selanjutnya, pada akhir Maret 1959, uang kertas pemerintah yang beredar berjumlah Rp1.000 juta, dengan rincian Rp131 juta dalam bentuk pecahan Rp 5 dan Rp 10, Rp310 juta dalam bentuk pecahan Rp1 dan Rp2,50, serta Rp559 juta dalam bentuk pecahan Rp1 dan Rp2,50.

Sampai dengan 29 Mei 1954, uang kertas pemerintah hanya diedarkan oleh Bank Indonesia. Namun, sejak 19 Mei 1954, berdasarkan PP No. 38 Tahun 1954, pemerintah (Menteri Keuangan) diberi wewenang mengedarkan uang ini selain Bank Indonesia, sesuai kebutuhan, dengan aturan yang ditetapkan Bank Indonesia.

Mekanisme Penarikan Uang Kertas Bank Dari Peredaran
Berdasarkan pasal 12 UUPBI Tahun 1953, ditetapkan ketentuan mengenai pencabutan dan penarikan kembali uang kertas bank dari peredaran. Ketentuan ini adalah sebagai berikut.

1. Bank mengumumkan penarikan uang kertas dalam Berita Negara sebanyak satu kali.

2. Bank melakukan pemanggilan terhadap para pemegang uang kertas. Hal ini juga diumumkan dalam Berita Negara sebanyak satu kali.

3. Bank menetapkan jangka waktu penukaran uang kertas yang ditarik.

4. Setelah waktu penukaran yang telah ditentukan berakhir, uang kertas tersebut hanya dapat ditukarkan di Kantor Pusat Bank Indonesia.

5. Setelah 30 tahun dari jangka waktu penukaran yang telah ditentukan tersebut, maka hak penukaran tidak berlaku lagi.

Penarikan Uang Kertas Bank
Penarikan uang kertas yang pernah terjadi pada periode 1953-1959 adalah penarikan uang kertas Rp 1.000 keluaran DJB tahun 1946. Hal ini disebabkan karena uang ini banyak dipalsukan.

Mekanisme penarikannya adalah.
1. Tanggal 2 Maret 1956, Bank Indonesia mengumumkan bahwa sejak 5 Maret 1956 uang kertas tersebut ditarik dari peredaran.

2. Bank Indonesia memberi kesempatan penukaran hingga 5 Juni 1956. Setelah waktu tersebut, penukaran hanya dapat dilakukan di Kantor Pusat Bank Indonesia. Hak penukaran akan terhapus setelah 30 tahun, yaitu pada tanggal 4 Juni 1986.

Penarikan uang kertas kembali terjadi pada uang kertas Rp 2,5, Rp 1, dan Rp 0,50 keluaran DJB tahun 1948. Hal ini dilakukan karena berdasarkan Ordonasi 1949 dianggap menyimpang dari DJB Wet 1922. Mekanisme penarikannya adalah sebagai
berikut.

1. Tanggal 22 November 1957, Bank Indonesia mengumumkan bahwa sejak 1 Desember 1957, uang kertas tersebut ditarik dari peredaran.

2. Bank Indonesia memberi kesempatan penukaran hingga 1 Desember 1958.

Setelah waktu tersebut, penukaran hanya dapat dilakukan di Kantor Pusat Bank Indonesia. Hak penukaran akan terhapus setelah 30 tahun, yaitu pada tanggal 30 November 1988.

Penarikan Uang Kertas Dan Uang Logam Pemerintah
Pada periode ini, ditarik uang kertas pemerintah pecahan Rp 0,50, Rp 1, dan Rp 2,50. Penarikan ini dimulai 1 Januari 1954. Demikian juga dengan uang kertas pemerintah pecahan 25 sen dan 10 sen yang dikeluarkan berdasarkan Ordonasi 20 November 1949. Uang kertas ini ditarik dari peredaran mulai 1 Januari 1957.

Batas waktu penukarannya ditetapkan sampai 30 Juni 1957. Setelah waktu tersebut, segala hak penukaran hilang dan tidak akan diberikan penggantian lagi. Keputusan ini dimuat dalam Lembaran Negara RI.

Jaminan Atas Uang Yang Diedarkan
Pada awal sejarah diterbitkannya uang kertas, seluruh uang kertas yang diedarkan harus dijamin dengan emas, sehingga pemegang uang mempunyai hak senilai jaminan emas tersebut, yang dapat ditukarkan sewaktu-waktu.

Jaminan ini juga berlaku bagi DJB, baik berdasarkan Oktroi maupun DJB Wet. Kewajiban penjaminan ini berlanjut hingga dibentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953.

Pasal 16 UUPBI Tahun 1953 menyebutkan.
1. Jumlah semua uang kertas bank, saldo rekening koran, dan tagihan-tagihan lain yang segera dapat ditagih dari bank, seperlimanya harus dijamin dengan emas, mata uang emas, bahan mata uang emas, atau cadangan yang terdiri atas alat-alat pembayaran luar negeri yang umumnya dapat ditukarkan.

2. Minimal seperlima dari nilai jaminan tersebut harus ada di Indonesia.

3. Dalam keadaan luar biasa, untuk rentang waktu paling lama tiga bulan, Bank Indonesia diperbolehkan menyimpang dari peraturan butir kesatu.

4. Bila dalam waktu tiga bulan tersebut, BI tidak dapat memenuhi ketentuan sebelumnya, pemerintah mengajukan perpanjangan kepada DPR selama tiga bulan berikutnya.

Selanjutnya, Dewan Moneter, melalui Surat Keputusan No. 23 tanggal 2 Februari 1957, menetapkan bahwa sejak 30 Januari 1957 sampai 30 April 1957 semua uang kertas bank, saldo rekening koran, dan tagihan-tagihan lain yang segera dapat ditagih dari bank, 15%-nya harus dijamin dengan emas, mata uang emas, bahan mata uang emas, atau cadangan yang terdiri atas alat-alat pembayaran luar negeri yang umumnya dapat ditukarkan. Penetapan ini didasari UUPBI 1953 pasal 16 ayat (3). Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa perkembangan, yaitu.

1. Persentase jaminan terus menurun sejak 30 Januari 1957, hingga dikhawatirkan menjadi lebih rendah dari 15% seperti yang telah ditetapkan.

2. Pada 23 April 1957 persentase jaminan telah turun sampai 15,4%.

3. Karena diperkirakan Bank Indonesia tidak akan mungkin memenuhi ketentuan dalam pasal 16 UUPBI 1953 dalam waktu yang singkat, maka dipandang tidak tepat lagi untuk menetapkan persentase jaminan yang lebih rendah dari 15% untuk tiga bulan ke depan.

Lewat UU Darurat No. 14 Tahun 1957, Dewan Menteri menetapkan Bank Indonesia bebas dari kewajiban menepati persentase jaminan, yang sebelumnya diatur dalam pasal 16 ayat I UU PBI Tahun 1953 selama enam bulan, sejak 30 April 1957 sampai 1 November 1957.

Untuk uang pemerintah, tidak ada ketentuan yang mewajibkan penjaminan untuk jumlah uang pemerintah yang telah dikeluarkan. Pengamanannya dilakukan antara lain dengan menetapkan batas jumlah uang pemerintah yang dapat diedarkan melalui PP. Beberapa ketentuan tersebut adalah.

1. PP No. 20 Tahun 1953, dibatasi sebesar Rp 175 juta.

2. PP No. 38 Tahun 1954, ditambah Rp 200 juta, sehingga menjadi Rp 375 juta.

3. PP No. 22 Tahun 1955 ditambah Rp 285 juta, sehingga menjadi Rp 660 juta.

Uang pemerintah yang diedarkan pada periode ini jumlahnya relatif kecil, yaitu hanya sekitar 5% dari seluruh jumlah uang yang beredar (uang pemerintah dan uang bank).

Sedangkan untuk uang logam, sebagian nilainya "dijamin" dengan nilai dari bahan logam yang digunakannya.

Pada periode ini, penyelenggaraan pengedaran uang di Indonesia dilakukan oleh Bank Indonesia dan pemerintah. Namun, jumlah uang yang diedarkan oleh pemerintah hanya 5% dari seluruh uang yang beredar. Selain menerbitkan uang kertas dan uang logam dalam berbagai seri, pada periode ini juga dilakukan pencabutan terhadap uang kertas De Javasche Bank serta uang kertas pemerintah berdasarkan Ordonasi 20 September 1949.

Posting Komentar untuk "Sejarah Pengedaran Uang di Indonesia Periode 1953-1959"